Apabila nur Ilahi telah kita lihat
faedahnya, yakni tersingkap hakikat sesuatu, baik pada rahasia ketaatan maupun
pada rahasia kemaksiatan. Apabila matahati telah tersingkap pula hikmah-hikmah penglihatannya
dan apabila hati telah menghadap pada yang baik dari apa yang telah
disingkapkan oleh matahati dan telah membelakangi sesuatu yang tidak baik
seperti maksiat, pada waktu itulah datang kegembiraan dalam hati dengan sebab
taat yang telah dikerjakan oleh orang yang telah dikurniakan Allah SWT
nikmat-nikmat tersebut. Untuk mengetahui bagaimanakah kegembiraan tentang taat
tersebut, maka yang mulia Al-Imam lbnu Athaillah Askandary, telah menyatakan
dalam Kalam Hikmahnya yang ke-58 sebagai berikut:
لاَتُفْرِ حُكَ الـطَّـاعَـهُ،
لِأَنَّهاَبَرَزَتْ مِنْكَ. وَافْرَحْ بِهـاَ، لِأَنَّهـاَبَرَزَتْ مِنَ اللّٰهِ
إِلَيْكَ. قُل بِفَضْلِ اللّٰهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذٰلِـكَ فَلْيَفْرَحُوْا
هُوَخَيْرٌ مِماَّ يَجْمَعُوْنَ.
“Janganlah ketaatan kepada Allah SWT
mengembirakan anda, karena ia telah datang dari anda. Dan bergembiralah anda
dengannya (taat), karena ketaatan itu telah datang dari Allah kepada anda. Katakanlah,
dengan sebab kurnia Allah dan rahmatNya; maka dengan demikian itulah sepatutnya
mereka bergembira, itulah lebih bagus dari apa yang mereka kumpulkan.”
Pengertian Kalam Hikmah di atas adalah
sebagai berikut:
I. Kegembiraan
karena telah melaksanakan taat pada perintah-perintah Allah SWT dan anjuran-anjuranNya terbagi kepada tiga
bagian:
[a]
Gembira telah mengerjakan taat karena mengharapkan pahala dan takut dari siksa
apabila tidak mengerjakanya.
[b] Gembira dalam taat karena melihat bahwa kita
telah mengerjakannya dan kelihatan dan kelihatan bahwa kita mengusahakannya dan
bersihlah kita dengan taat itu.
[c] Gembira dengan taat karena terasa oleh kita
bahwa Allah SWT telah memberikan nikmat dan kurnia pada kita, di mana dengan
nikmat dan kurnia itu kita diperkenankan mengerjakan taat terhadapNya.
Inilah
tiga kegembiraan yang berhubungan dengan taat dan ketaatan kepada Allah SWT.
Setiap kegembiraan ini mempunyai tingkat-tingkat yang berbeda pada nilai
kemuliaannya.
Adapun
tingkat pertama lebih baik daripada tingkat kedua, karena kegembiraan pada
tingkat pertama tujuannya adalah baik, yakni mengharapkan pahala dan takut dari
siksa neraka. Tetapi pada kegembiraan yang pertama didapati kekurangan dan
tidak baik, disebabkan masih terdapat unsur-unsur halus berpengang atas amal
dan bukan bergantung kepada Allah SWT. Karena secara halus terlihat bahwa
pahala yang diharapkan di samping takut kepada azab siksa, adalah datang apabila
kita mengamalkan perintah-perintah Allah dan menjauhkan larangan-laranganNya.
Apabila tidak, maka tentulah harapan yang tadi tidak akan ada.
Adapun
kegembiraan yang kedua kurang baik daripada kegembiraan yang pertama, karena
pada kegembiraan yang kedua boleh mendatangkan sombong dan ‘ujub. Hal tersebut
disebabkan karena merasakan bahwa taat itu adanya dengan usaha kita dan kita
bergembira karena telah dapat mengerjakannya, dan ini boleh mendatangkan bahwa kita
telah beramal, sedangkan sebahagian orang masih ada yang belum mengamalkannya.
Perasaan yang begini sangat tidak baik menurut kacamata tasawuf.
Adapun kegembiraan yang ketiga
adalah kegembiraan yang terbaik dari semua kegembiraan. Sebab kegembiraan yang
ketiga mengingatkan kita, jika bukan karena taufiq dan nikmat Allah, pastilah
kita tidak mungkin dapat mematuhi perintah-perintah Allah dan
anjuran-anjuranNya. Sebab kita yang bersifat makhluk ini diciptakan Allah, dan
segala amal perbuatan kita juga diciptakan olehNya. Karena itu semuanya adalah
nikmat kurnia Allah SWT ke atas kita.
II.
Mengenai dalil
lebihnya kegembiraan yang ketiga dari semua kegembiraan, ialah firman Allah SWT
dalam surat Yunus:
قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوْا
هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُوْنَ. (يونس:٥٨)
“Katakanlah (hai Muhammad), dengan
kurnia Allah dan rahmat-rahmatNya, hendaklah dengan itu mereka bergembira; hal itu
lebih baik daripada (harta) yang berkumpul.” (Yunus:58)
Ayat ini dapat kita fahami bahwa
kegembiraan yang tidak dibayangkan dengan kurnia Allah dan rahmatNya, berarti
kelalaian kepada Allah dengan nikmat dan rahmatNya. Padahal apabila kegembiraan
itu didasarkan kepada kurnia Allah dan kasih sayangNya, sehingga dengan sebab
itu kita tidak melupakan segala perintah dan anjuranNya, dan tidak mengerjakan larangan-laranganNya,
maka itulah hakikat terima kasih kita kepada Allah. Karena telah berkumpul
antara kegembiraan dalam hati kepada Allah yang memberikan nikmat dengan
mematuhi ajaran-ajaranNya. Apabila telah demikian, maka yakinlah bahwa Allah SWT
akan meningkatkan rahmat dan nikmatNya atas kita, dan inilah pengertian Kalam
Allah dalam Al-Quran Al-Karim:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ
لَأَزِيْدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ. (إبرا هيـم:٧)
“Dan inqatlah ketika Tuhan kamu
memberitahukan; kalau kamu bersyukur, sudah tentu Aku akan memberikan lebih
banyak, dan kalau kamu tidak bersyukur, sesungguhnya siksaKu sangat keras.” (Ibrahim: 7)
Ayat ini menggambarkan kepada kita,
bahwa nikmat dan rahmat Allah baru kekal dan bahkan ditingkatkan oleh Allah, apabila
tanggapan kita terhadap nikmat kurnia Allah sedemikian rupa, dan tanggapan itu
pada hakikatnya adalah dari hati dan bukan dari lahiriah. Sebab Tuhan pada
hakikatnya melihat kepada hati manusia dan bukan melihat kepada lahiriahnya.
Karena itulah Siti Aisyah r.a. berkata: “Pada suatu kali aku memakai pakaian
yang baru (pakaian besi untuk berperang), maka aku selalu melihat kepada pakaian
itu dan aku merasa kagum dengannya.” Kemudian berkata Abu bakar (ayahanda Siti
Aisyah): “Apakah yang karnu lihat? Sesungguhnyalah Allah tidak melihat
kepadamu.” Aku bertanya: “Kenapakah demikian?” Berkata beliau: “Adakah tidak
kamu ketahui, bahwah si hanba apabila telah masuk kepadanya kekaguman pada
perhiasan dunia, maka ia dimarahi Allah sehingga ia ceraikan hiasan itu. “Berkata
Siti Aisyah: “Kemudian aku bukalah pakaian tadi, maka aku sedekahkan pakaian
itu.” Kemudian setelahnya Abu Bakar berkata: “Mudah-mudahan tindakan yang
demikian dapat menghapuskan hal-hal uang tidak baik (seperti kejadian di atas)
daripadamu.”[1]
Kesimpulan:
Apabila kita
telah mematuhi ajara-ajaran tersebut, maka bergembiralah karena kita dapat
rnematuhi itu adalah dengan kurnia Allah dan dengan rahmatNya serta bukan
karena kekuatan kita dan daya upaya kita. Inilah keyakinan kita. Dan
barangsiapa yang di luar keyakinannya begini, maka akan berlainanlah jalannya dengan
jalan yang telah dilalui oleh para Rasul dan Nabi serta para sahabat yang mulia
dan hamba-hamba Allah yang saleh.
Mudah-mudahan kita dapat mengerjakan
ajaran di atas, supaya kita dapat mengerjakan bagaimana bersyukur yang sebenarnya
kepada Allah SWT yang telah memberikan nikmatNya kepada kita sekalian.
Tusyiah Abuya Muhibbuddin : "Bergembiralah Orang yang Taat kepada Allah"
Al-Hikam
Abuya Syeikh Prof. Dr. Tgk. H. Muhibbuddin Muhamamd Waly
Lihat kitab Hilyatul
Aulia, juz pertama, hal 37, oleh Al-Hafizh Abu Nu’aim Ahmad bin Abdullah
Al-Ashbahaani, wafat: 430 H.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !